Selasa, 22 Maret 2022

KONFLIK AGRARIA YANG TERJADI DI WILAYAH PERKEBUNAN KALIBAKAR MASYARAKAT TIRTIYUDO MALANG SELATAN

 


            Konflik agraria selalu muncul ditengah masyarakat, perusahaan dan juga pemerintah. Karena sejatinya konflik agrarian merupakan konflik kepentingan pada bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, perseorangan dengan badan, kelompok masyarakat dengan badan atau organisasi publik, badan hukum dengan badan hukum lainnya. Dalam konteks sejarah konflik agraria memang sering muncul saat ini baik karena sengekta perizinan lahan ataupun perebutan lahan. Konflik agraria sendiri adalah konflik yang berhubungan dengan tanah guna untuk penguasaan sumber daya alam. Konflik agrarian timbul karena adanya kesenjangan sumber daya alam yang ada. Di seluruh dunia konflik agrarian hampir selalu terjadi termasuk juga di negara Indonesia. Menurut badan pertanahan nasional tahun 2015 jumlah konflik agrarian yang terjadi di Indonesia mencapai 231 kasus. Jumlah tersebut bertambah 60% dibanding pada tahun 2014 yang hanya terjadi 143 kasus saja. Konflik agrarian tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan total luas lahan konflik agrarian seluas 770.341 ha² yang tersebar di 98 kota dan kabupaten di Indonesia.

            Dalam sejarahnya konflik agrarian terjadi pada masa colonial belanda yang menerapkan UU Agraria yang kemudian melahirkan hak erfpacht atau sekarang lebih dikenal dengan Hak Guna Usaha (HGU) yang membuka peluang pada perusahaan-perusahaan besar untuk mengelola hingga menggusur tanah pertanian milik masyarakat. Setelah Indonesia merdeka dari penjajahan pun konflik agrarian masih sering terjadi. Penyumbang konflik terbesar adalah sektor perkebunan dan kehutanan karena sektor kebun dan hutan sangat memiliki sumber daya alam yang melimpah sehingga rawan untuk terjadi konflik kepentingan. Dalam sektor perkebunan sendiri terdapat 119 kasus dengan luasan area mencapai 413.972 hektar sedangkan sektor kehutanan terdapat 72 kasus dengan luas area mencapai 1,2 juta hektar lebih. Salah satunya yang terjadi konflik terjadi di perkebunan kalibakar kabupaten malang yang melibatkan masyarakat setempat dengan PTPN XII (Persero).

            Perkebunan kalibakar kabupaten malang adalah perkebunan bekas colonial belanda yang berasal dari tanah hak erfacht pada tahun 1897-1890. Total luas keseluruhan kebun tersebut adalah 8.828.84 Hektar yang dikelola pihak belanda selama 75 tahun. Perkebunan kalibakar terletak di 5 desa yang berbeda yaitu desa simojayan, desa tirtoyudo, desa kepatihan, desa tlogosari, dan desa bumirejo yang seluas 4,826 hektar. Awal mula konflik terjadi ketika adanya program nasionalisasi perusahaan dan perkebunan belanda yang mana semua milik belanda diambil alih oleh negara, termasuk tanah perkebunan kalibakar. Kemudian berdasarkan surat keputusan kementerian dalam negeri tanggal 18 juni Hak Guna Usaha perkebunan kalibakar diserahkan pada PTPN XII seluas 2050 hektar dengan masa berlaku sampai pada tahun 2013. Berdasarkan HGU inilah terjadi konflik antara masyarakat setempat dengan pihak PTPN atau pemerintah karena adanya perbedaan persepsi. Dari pihak PTPN berdalih bahwa tanah tersebut berhak mereka kelola berdasarkan HGU kemudian masyarakat menganggap tanah tersebut adalah tanah milik nenek moyang mereka.

            Dalam prosesnya mendapatkan kembali tanah mereka masyarakat setempat mengorganisir diri untuk mengajukan surat permohonan kembali tanahnya kepada Menteri agrarian, Menteri dalam negeri, dirjen pemerintahan umum, kantor pertanahan nasional jawa timur dan BPN malang. Namun surat permohohan tersebut tidak pernah ditanggapi oleh instansi tersebut. hal ini menunjukkan bahwa terdapat upaya pemerintah untuk melegalkan aktivitas perusahaan untuk mengelola tanah tersebut sehingga hal tersebut mengakibatkan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal serupa juga hampir terjadi diberbagai daerah di Indonesia yang mengalami konflik agrarian dengan perusahaan ataupun pemerintah yang mengalami ketidakadilan di negara hukum oleh pejabat negara. seperti dalam kasus hutan kinipan, perkebunan urat sewu dan yang terbaru adalah konflik kritikus rocky gerung serta masyarakat dengan PT. Sentul city. Konflik agrarian memang seringkali terjadi terlebih dalam dunia ekonomi kapitalis yang mana untuk mencari sumber daya alam yang melimpah.

            Oleh karena itu kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung atau Perma Nomor 2 tahun 2019 tentang “pedoman penyelesaian sengketa tindakan pemerintah dan kewenangan mengadili perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintah” merupakan bentuk tindak lanjut dari UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan dan peraturan MA No 8 tahun 2018 tentang pedoman penyelesaian sengketa administrasi pemerintahan. Yang sebelumnya normative berpedoman pada UU Nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara. yang kemudian terjadi berbagai perubahan namun pada intinya sama yaitu mengatur hukum formil dan material. Diberlakukannya perma no 2 tahun 2019 merupakan upaya pemerintah untuk memanajemen konflik yang terjadi di internal pemerintah khususnya yang terdapat pada pejabat publik. namun dalam pelaksanaannya kadang kala menimbulkan multi tafsir. Manajemen konflik sendiri adalah proses mengelola konflik dengan menyusun sejumlah strategi dan kebijakan melalui pihak-pihak yang berkonflik. Dalam penelitian ini pihak yang berkonflik adalah masyarakat setempat wilayah tirtoyudo malang dan sekitarnya dan juga pihak PTPN ataupun pemerintah setempat.

            Dengan diterbitkannya Perma No 2 tahun 2019 masyarakat juga dapat menuntut pihak pejabat publik yang ikut terlibat dalam konflik kepentingan ini yang mana merupakan bentuk penyelesaian konflik secara hukum yang telah disediakan oleh pemerintah. Sehingga perkara konflik lahan dapat diselesaikan di dalam persidangan. Kemudian melihat berbagai konflik tersebut yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, negara dan swasta tentunya juga perlu perhatian dan kepedulian dari semua pihak, oleh karena itu kita terkhusus saya sebagai pemuda dan warga malang juga ingin terlibat dan peduli terhadap masalah-masalah agraria yang terjadi karena hal ini menyangkut dari masa depan anak cucu kedepan.

Previous Post
Next Post

0 komentar: