Konflik agraria selalu muncul
ditengah masyarakat, perusahaan dan juga pemerintah. Karena sejatinya konflik
agrarian merupakan konflik kepentingan pada bidang pertanahan antara siapa
dengan siapa, perseorangan dengan badan, kelompok masyarakat dengan badan atau
organisasi publik, badan hukum dengan badan hukum lainnya. Dalam konteks
sejarah konflik agraria memang sering muncul saat ini baik karena sengekta
perizinan lahan ataupun perebutan lahan. Konflik agraria sendiri adalah konflik
yang berhubungan dengan tanah guna untuk penguasaan sumber daya alam. Konflik
agrarian timbul karena adanya kesenjangan sumber daya alam yang ada. Di seluruh
dunia konflik agrarian hampir selalu terjadi termasuk juga di negara Indonesia.
Menurut badan pertanahan nasional tahun 2015 jumlah konflik agrarian yang
terjadi di Indonesia mencapai 231 kasus. Jumlah tersebut bertambah 60%
dibanding pada tahun 2014 yang hanya terjadi 143 kasus saja. Konflik agrarian
tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan total luas lahan konflik
agrarian seluas 770.341 ha² yang tersebar di 98 kota dan kabupaten di
Indonesia.
Dalam sejarahnya konflik agrarian
terjadi pada masa colonial belanda yang menerapkan UU Agraria yang kemudian
melahirkan hak erfpacht atau sekarang lebih dikenal dengan Hak Guna
Usaha (HGU) yang membuka peluang pada perusahaan-perusahaan besar untuk
mengelola hingga menggusur tanah pertanian milik masyarakat. Setelah Indonesia
merdeka dari penjajahan pun konflik agrarian masih sering terjadi. Penyumbang
konflik terbesar adalah sektor perkebunan dan kehutanan karena sektor kebun dan
hutan sangat memiliki sumber daya alam yang melimpah sehingga rawan untuk
terjadi konflik kepentingan. Dalam sektor perkebunan sendiri terdapat 119 kasus
dengan luasan area mencapai 413.972 hektar sedangkan sektor kehutanan terdapat
72 kasus dengan luas area mencapai 1,2 juta hektar lebih. Salah satunya yang
terjadi konflik terjadi di perkebunan kalibakar kabupaten malang yang
melibatkan masyarakat setempat dengan PTPN XII (Persero).
Perkebunan kalibakar kabupaten
malang adalah perkebunan bekas colonial belanda yang berasal dari tanah hak
erfacht pada tahun 1897-1890. Total luas keseluruhan kebun tersebut adalah
8.828.84 Hektar yang dikelola pihak belanda selama 75 tahun. Perkebunan
kalibakar terletak di 5 desa yang berbeda yaitu desa simojayan, desa tirtoyudo,
desa kepatihan, desa tlogosari, dan desa bumirejo yang seluas 4,826 hektar. Awal
mula konflik terjadi ketika adanya program nasionalisasi perusahaan dan
perkebunan belanda yang mana semua milik belanda diambil alih oleh negara,
termasuk tanah perkebunan kalibakar. Kemudian berdasarkan surat keputusan
kementerian dalam negeri tanggal 18 juni Hak Guna Usaha perkebunan kalibakar
diserahkan pada PTPN XII seluas 2050 hektar dengan masa berlaku sampai pada
tahun 2013. Berdasarkan HGU inilah terjadi konflik antara masyarakat setempat
dengan pihak PTPN atau pemerintah karena adanya perbedaan persepsi. Dari pihak
PTPN berdalih bahwa tanah tersebut berhak mereka kelola berdasarkan HGU
kemudian masyarakat menganggap tanah tersebut adalah tanah milik nenek moyang
mereka.
Dalam prosesnya mendapatkan kembali
tanah mereka masyarakat setempat mengorganisir diri untuk mengajukan surat
permohonan kembali tanahnya kepada Menteri agrarian, Menteri dalam negeri,
dirjen pemerintahan umum, kantor pertanahan nasional jawa timur dan BPN malang.
Namun surat permohohan tersebut tidak pernah ditanggapi oleh instansi tersebut.
hal ini menunjukkan bahwa terdapat upaya pemerintah untuk melegalkan aktivitas
perusahaan untuk mengelola tanah tersebut sehingga hal tersebut mengakibatkan
ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah. Hal serupa juga hampir terjadi
diberbagai daerah di Indonesia yang mengalami konflik agrarian dengan
perusahaan ataupun pemerintah yang mengalami ketidakadilan di negara hukum oleh
pejabat negara. seperti dalam kasus hutan kinipan, perkebunan urat sewu dan
yang terbaru adalah konflik kritikus rocky gerung serta masyarakat dengan PT.
Sentul city. Konflik agrarian memang seringkali terjadi terlebih dalam dunia
ekonomi kapitalis yang mana untuk mencari sumber daya alam yang melimpah.
Oleh karena itu kemudian pemerintah
mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung atau Perma Nomor 2 tahun 2019 tentang
“pedoman penyelesaian sengketa tindakan pemerintah dan kewenangan mengadili
perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat pemerintah” merupakan bentuk
tindak lanjut dari UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan dan
peraturan MA No 8 tahun 2018 tentang pedoman penyelesaian sengketa administrasi
pemerintahan. Yang sebelumnya normative berpedoman pada UU Nomor 5 tahun 1986
tentang peradilan tata usaha negara. yang kemudian terjadi berbagai perubahan
namun pada intinya sama yaitu mengatur hukum formil dan material.
Diberlakukannya perma no 2 tahun 2019 merupakan upaya pemerintah untuk
memanajemen konflik yang terjadi di internal pemerintah khususnya yang terdapat
pada pejabat publik. namun dalam pelaksanaannya kadang kala menimbulkan multi
tafsir. Manajemen konflik sendiri adalah proses mengelola konflik dengan
menyusun sejumlah strategi dan kebijakan melalui pihak-pihak yang berkonflik.
Dalam penelitian ini pihak yang berkonflik adalah masyarakat setempat wilayah
tirtoyudo malang dan sekitarnya dan juga pihak PTPN ataupun pemerintah
setempat.
Dengan diterbitkannya Perma No 2
tahun 2019 masyarakat juga dapat menuntut pihak pejabat publik yang ikut
terlibat dalam konflik kepentingan ini yang mana merupakan bentuk penyelesaian
konflik secara hukum yang telah disediakan oleh pemerintah. Sehingga perkara
konflik lahan dapat diselesaikan di dalam persidangan. Kemudian melihat berbagai konflik tersebut yang
melibatkan berbagai elemen masyarakat, negara dan swasta tentunya juga perlu
perhatian dan kepedulian dari semua pihak, oleh karena itu kita terkhusus saya
sebagai pemuda dan warga malang juga ingin terlibat dan peduli terhadap
masalah-masalah agraria yang terjadi karena hal ini menyangkut dari masa depan
anak cucu kedepan.
0 komentar: