“Kebijakan bukanlah ajang untuk hakim menghakimi dan hukum menghukum tapi kebijakan adalah produk pemerintah untuk kepentingan dan keadilan bersama.
Kebijakan
yang baik bukanlah yang mampu menyenangkan semua rakyat namun kebijakan yang
baik adalah yang mampu menampung semua keresahan rakyat”
Sandi
Wiranata
(Pembelajar
Yang Tidak Tahu Apa-Apa)
sudah berjalan sekitar dua tahunan
pandemic Covid-19 ini berlangsung di Indonesia, tak terasa sudah banyak
pengorbanan yang telah dibayar untuk bertahan maupun memulihkan keadaan. Sudah
banyak nyawa melayang, banyak keluarga kelaparan, para pembuat kebijakan yang
kelabakan, para oposisi yang makin bringas mengkritisi dan mereka yang
terpinggirkan makin tersingkir. Sudah hampir tak terhitung berapa milliar yang pemerintah
anggarkan untuk menangani pandemic ini, begitu pula dengan demand yang juga
diperlukan untuk memasok APBN. Jika hanya mengandalkan pajak dari rakyat sepertinya
sudah sangat mencekik, berharap dari denda para pelanggar kebijakan juga tak
bisa menutupi. Dilihat dari situasi tersebut mau tidak mau pemerintah melalui
kementrian keuangan harus berhutang kembali. Berdasarkan data dari Bank
Indonesia yang tertera di Surat No. 23/39/DKom dijabarkan bahwa Utang Luar
Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan IV 2020 tercatat sebesar 418,5
milliar dolar AS, yang terbagi kedalam sektor publik (pemerintah dan bank
sentral) sebesar 209,2 milliar dolar AS dan sektor swasta (termasuk BUMN)
Sebesar 208,3 milliar dolar AS. Penggunaan utang luar negeri terfokus pada
penanganan pandemic covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dikarenakan pada awal pandemic covid-19
melanda Indonesia ekonomi nasional Indonesia mengalami penurunan dan berada di
zona minus.
Pembatasan dalam kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah terbukti menjadi faktor utama menyusutnya ekonomi
sectoral dan regional yang mengalir kedalam kas negara. Pada saat yang sama
pemerintah menerapkan berbagai kebijakan untuk merospen semakin massifnya
penyebaran covid-19 dengan dimulainya kebijakan PSBB dengan dikeluarkannya
Keppres Nomor 7 tahun 2020, kemudian pada akhir bulan juli 2020 pemerintah
mengeluarkan Perpres Nomor 82 Tahun 2020 untuk membentuk komite penanganan
covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Untuk melancarkan upaya penanganan
covid-19 pemerintah sendiri telah menganggarkan dana sebesar Rp. 695,2 triliun
pada tahun 2020. Dari total anggaran tersebut sebesar Rp. 87,55 trilliun
digunakan untuk bidang kesehatan. Dalam proses penananganan pandemic covid-19
pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan mulai dari kampanye 3M,
peningkatan disiplin masyarakat, program PPKM sampai pada percepatan vaksinasi
nasional.
Meskipun dalam aspek konsepsasi
kebijakan terlihat aman dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan, namun pada
kenyataannya dalam implementasi kebijakan seringkali tidak dapat dikendalikan
bahkan mengalami kollaps. Faktor-faktor internal dan eksternal menjadi
permasalahan yang sulit untuk diatasi. Dalam konteks permasalahan internal
terjadi karena berbagai aspek :
Pertama, adalah aspek pejabat yang
tidak kompeten. Selain itu di tengah pandemic covid-19 ini masih banyak juga
pejabat yang melakukan tindakan korupsi dan gilanya korupsi dilakukan oleh para
Menteri seperti kasus korupsi Menteri KKP Edy Prabowo soal eksport benur dan
Menteri sosial Juliari peter batubara soal korupsi bantuan sosial. Sungguh
sangat disayangkan dimana rakyat berusaha untuk terus bertahan hidup justru
pejabat malah memperkeruh keadaan. Selain itu dalam proses hukum yang diterima
terdakwa korupsi juga terbilang tebang pilih yang mana banyak kasus receh yang
mendapatkan hukuman berat justru kasus kemanusiaan seperti ini malah
mendapatkan asimilasi/ pemotongan hukuman. Berdasarkan pernyataan ketua KPK firli
bahuri yang menegaskan bahwa tindakan korupsi di tengah pandemi maka ancaman
hukuman mati. Dalam keterangannya pada 21 maret 2020. Namun jika melihat saat
ini hukuman untuk edy Prabowo saja hanya dijatuhi selama 5 tahun penjara,
sedangkan batubara hanya dituntut hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp. 500
juta subsider 6 bulan, dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp. 14,5
miliar.
Jika
meilihat realita yang ada maka pemerintah khususnya hukum yang berlaku
di Indonesia terkesan hukum yang loyo dan tidak efektif untuk membuat efek jera
pada kasus-kasus kejahatan besar seperti kasus korupsi. Jika mundur pada kasus
pelanggaran HAM dalam kasus TWK pegawai KPK yang menurut banyak pihak adalah rekayasa
untuk menyingkirkan para pegawai KPK yang progresif dan memiliki catatan baik.
Hal tersebut dinilai sangat mencurigakan ditengah massif kasus korupsi besar
yang mulai terungkap justru para penyidik KPK yang menangani hal tersebut tidak
lolos TWK. Permasalahan-permasalah internal tersebut lah yang membuat
masyarakat semakin muak dan tidak percaya dengan hal-hal yang dikeluarkan
pemerintah.
Kedua, faktor eksternal yaitu disini
penulis akan mengambil sampel pada permasalah banyaknya TKA yang masuk ke
Indonesia seperti dari tiongkok, kemudian faktor geo politik perairan pacific
yang sedang memanas antara tiongkok dan
negara asia tenggara mengenai laut china selatan yang mulai menyeret
negara-negara barat untuk mulai masuk. Pembahasan pertama pada masalah TKA
China yang masuk ke Indonesia dengan lancarnya ditengah pandemic covid-19.
Terlebih kemarin TKA China masuk ketika terjadi kebijakan larangan mudik untuk
mengurangi mobilitas penduduk. Disaat masyarakat seperti dipenjara dalam
negerinya sendiri justru warga asing bebas masuk ke negeri Indonesia, ini
adalah sebuah ironi. Meskipun jika dilihat dari kacamata geopolitik hal
tersebut mungkin sudah ada kesepakatan antara 2 negara atau dua pihak yang
berkentingan namun seharusnya momen yang digunakan janganlah saat kebijakan
pengketatan pandemic diberlakukan. TKA asing kadangkala memang dibutuhkan dalam
industry karena biasanya pemborong atau pemenang proyek memiliki kerjasama
dengan agensi pekerja yang memasok pekerja dan kebetulan agensi yang diajak
kerjasama adalah agensi tenaga kerja china. Tapi meski begitu seharusnya tidak
sepatutnya dilakukan ditengah pandemic.
Momen kedua adalah permasalah global
mengenai geopolitik di laut china selatan. Sengketa di LCS telah menjadi
perdebadan di dunia internasional oleh beberapa negara yaitu filipina, brunei
darusalam, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan Indonesia yang menentang soal klaim
china selama puluhan tahun terakhir. Konflik di perairan LCS seringkali
memanas, mulai dari pengusiran kapal nelayan oleh costguard sampai pada berlalu
lalangnya kapal-kapal perang disekitaran perairan tersebut. baru-baru amerika
dan sekutunya mengirimkan beberapa armada kapal perang untuk latihan di sekitar
laut china selatan. Dan tak lupa Indonesia juga turut andil dengan latihan
dengan militer amerika serikat pada garuda shield. Tak mau kalah dengan barat
kemudian china juga melakukan latihan militer dengan Russia.
Hal-hal tersebut tidak boleh dilihat
hanya sekedar latihan semata dan menjalin hubungan baik dengan negara sahabat.
Namun jika dicermati hal tersebut adalah untuk menunjukkan bukti eksisten
negara tersebut sekaligus sebagai unjuk kekuatan bahwa ia memiliki
superioritas. Sikap Indonesia yang memiliki kebijakan politik luar negeri bebas
aktif tidak boleh hanya terbawa arus barat begitu saja. Karena kebijakan bebas
aktif tersebutlah Indonesia seharusnya berada di posisi tengah/netral sehingga
Indonesia juga perlu menjalin hubungan baik china maupun Russia. Jika
dicontohkan hubungan dengan china lebih dekat kepada hubungan ekonomi dan
perdangan.
Melihat beberapa faktor eksternal
dan internal tersebut membuat masyarakat kalangan bawah menjadi bimbang
terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di satu sisi masyarakat
tidak mendapatkan bantuan yang selayaknya dari pemerintah namun di sisi lain
masyarakat juga dilemma dengan terus meningkatnya penyebaran covid-19. Jika
menakar kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemic covid-19 baru baru ini
yaitu kebijakan PPKM level 4 dan 4 untuk jawa bali sangatlah tidak efisien.
Karena dalam penerapannya kadangkala sering terjadi bentrokan antara aparat dan
masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat semakin acuh dengan apa yang
dikeluarkan pemerintah jika kembali pada beberapa studi kasus diatas. Terlebih
masyarakat juga butuh bertahan hidup. Seringkali kebijakan yang diterapakan
oleh pemerintah daerah terjadi miskomunikasi dan kurang koordinasi antara
provinsi dan kabupaten/kota. Prosedur yang dijalankan pun tidak efisien dan
hanya dikerjakan diawal kebijakan diterapkan saja. Aparat yang terlalu represif
dalam penindakan juga membuat semakin menunjukkan kurang hadirnya masyarakat
pada kaum bawah.
Kembali pada topik utama jika
ditakar kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemic covid-19 ini masihlah
memiliki banyak PR. Kebijakan pembatasan yang setengah-setengah tanpa kejelasan
prosedur yang baik, kemudian program vaksinasi nasional yang kurang merata dan
seringkali terjadi kerumuanan dalam proses vaksinasi. Vaksinasi yang
diprivatisasi oleh Lembaga/instansi tertentu utnuk diberikan pada golongan tertentu
juga sebuah pelanggaran karena vaksin adalah untuk semua rakyat Indonesia bukan
untuk privatisasi Lembaga. Proses vaksin seharusnya didata door to door ataupun
melalui RT/RW sehingga prosesnya cepat dan terdata dengan jelas.
Mungkin itu saja tulisan singkat ini, meskipun masih tidak beraturan semoga bisa sedikit memberikan gambaran akan situasi Indonesia saat ini. . . .